Jenis Makanan Khas Suku Bugis yang Memiliki Sejarah – Suku Bugis Makassar merupakan salah satu dari berbagai suku bangsa di Nusantara yang memiliki kekayaan kuliner dengan berbagai nama lokal yang beragam. Selain memiliki beragam kue tradisional, masyarakat setempat juga spaceman pragmatic terampil dalam menyajikan berbagai makanan khas Bugis yang unik. Ketika berkunjung ke Sulawesi Selatan, terutama di Kota Makassar, jangan lupakan kesempatan untuk menikmati beberapa rekomendasi hidangan makanan berat lezat. Hidangan tersebut disediakan dengan berbagai cara dan cita rasa yang khas. Berkenaan dengan itu, menarik mengetahui makanan khas Bugis yang lezat. Simak selengkapnya dalam uraian berikut.
Kue khas Bugis kerap disajikan di berbagai acara-acara penting seperti pernikahan, aqiqah, dan acara adat lainnya. Kue khas Bugis umumnya memiliki sejarah dan filosofi tertentu yang erat kaitannya dengan nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat suku Bugis Umumnya kue khas Bugis ini diolah secara tradisional, mulai dari alat hingga proses pembuatannya masih belum tersentuh teknologi. Pengolahan secara tradisional bertujuan untuk menjaga cita rasa dan filosofi tertentu yang terkandung dalam proses pembuatannya. Selain mengandung filosofi yang mendalam, kue khas Bugis ini umumnya memiliki cita rasa yang unik dan sangat khas. Tak heran, kue-kue ini kerap menjadi sangat populer di masyarakat.
Jalangkote
Jalangkote merupakan makanan khas Bugis yang mulai diperkenalkan ke masyarakat pada abad ke-19. Oleh karena itu, makanan ini termasuk jenis makanan modern. “Kalau sejarahnya itukan makanan modern sudah masuk makanan modern yah. Karena dia hadir nanti di abad ke-18 atau 19, seribu sembilan ratusan mi baru muncul,” Rasa kue ini sangat gurih sehingga eksis di segala momen. Baik itu pada kegiatan hajatan maupun di bulan Ramadhan, makanan ini selalu memiliki tempat di hati masyarakat. Jalangkote memiliki nama yang cukup menarik dan sarat makna. Dalam bahasa Makassar jalangkote terdiri dari dua kata yakni “jalang” yang berarti jalan, sementara “kote” berasal dari suara bunyi ayam atau yang berarti teriakan. Firman menjelaskan makanan ini diberi nama jalangkote karena dulunya para penjual yang didominasi oleh anak-anak. Mereka menjajakan jualannya sambil berjalan berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya dengan cara berteriak. “Penamaan jalangkote itu dilihat dari namanya, jalang itu kan jalan kemudian kote itu diambil dari penamaan ayam yang berbunyi. Kote artinya bunyi atau teriak, makanya jalangkote itu disebut yang dijajakan dengan cara berteriak,” jelas Firman.
Taripang
Kue taripang merupakan kue tradisional khas Bugis yang terbuat princess slot dari tepung ketan dan diselimuti lelehan gula merah, sehingga rasanya manis dan gurih. Kue taripang mulai diperkenalkan oleh Masyarakat pada abad ke-15. Pada saat itu, kue ini dihidangkan untuk menjamu tamu-tamu di acara perkawinan. Firman menjelaskan bahwa kue ini di temukan di Celebes atau saat ini dikenal daerah pesisir pantai Sulsel. Daerah pesisir tersebut meliputi Makassar, Ajatappareng, dan Barru. “Awal kemunculan Taripang berasal dari daerah-daerah pesisir yang dinamakan daerah Celebes pada waktu itu, termasuk di masyarakat Makassar dan masyarakat daerah-daerah Bugis di Sulawesi Selatan seperti Ajatappareng, Sidrap, Pinrang, Parepare, dan Barru” jelasnya.
Selain itu, kue taripang diambil dari nama hewan laut yaitu taripang. Keduanya memiliki bentuk yang sama sehingga disebut Taripang. “Kalau Teripang itu, penamaannya diambil dari hewan laut Teripang. Jadi dilihat dari bentuknya seperti Teripang sehingga dia dinamakan Taripang. Bahannya itukan terbuat dari tepung beras ketan, kemudian kelapa kemudian dicampur dengan gula merah.” jelasnya. Sementara itu, kue yang manis dan gurih ini memiliki filosofi tersendiri. Bahan-bahan yang menjadi bahan dasarnya mencerminkan filosofi yang mendalam. “Kalau filosofinya itu tentu saja beras merupakan sumber kehidupannya masyarakat di Sulawesi Selatan atau sebagai makanan pokok”, tutur Firman. Jadi, tepung beras dipilih sebagai bahan pokok kue taripang bukan hanya karena posisinya sebagai bahan pokok pada saat itu. Namun, karena beras diyakini sebagai sumber kekuatan,” kata Firman. Sementara itu, gula yang menyelimuti taripang ini bukan sekadar pemanis. Gula memiliki simbol kekuatan. “Gula itu menjadi simbol atau kalau orang Bugis Makassar menganggap bahwa gula itu sebagai sumber kekuatan.’ tutupnya.
Sanggara Balanda
Sanggara balanda merupakan makan khas Bugis yang kerap dihidangkan dan disantap bersama keluarga. Kue ini terbuat dari pisang yang dipadukan dengan gula dan kacang, sehingga rasanya gurih dan renyah. Sanggara balanda telah dikenal masyarakat Bugis-Makassar sejak abad ke-18 dengan menjadikan kacang dan gula sebagai isian. Artinya, olahan pisang ini sudah ada saat jaman penjajahan Belanda. Firman menjelaskan, penamaan sanggara balanda diambil karena pisang digoreng slot thailand dan melalui beberapa tahapan dalam proses pembuatannya. “Kenapa dinamakan sanggara balanda karena dia (pisang) digoreng terlebih dahulu, karena ada beberapa tahap (memasaknya) yah, pisang digoreng dulu setelah digoreng lalu dibelah, setelah dibelah kemudian masukkan kacang, gula. Setelah itu digoreng kembali dan dicampur dengan telur”. Seiring berjalannya waktu, sanggara balanda mulai divariasikan. Olahan pisang ini ditambahkan bahan campuran seperti fla atau air gula, sehingga rasanya menjadi lebih tambah manis.
Selain itu, sanggara balanda juga memiliki filosofi yang tersirat dalam penyajiannya. Disebut sanggara balanda karena bahan yang diselipkan di dalam pisang mengandung nilai yang baik. “Sama seperti filosofinya bahwa kita itu (memiliki) sesuatu yang baik, dia tersembunyi, dia tidak terlihat. Misalnya dalam sanggara balanda itu, pisang di dalamnya ada kacangnya, itu campurannya meski ada yang menambahkan dengan mentega dan gula pasir dan lain-lain, meskipun dia tersembunyi,” ujar Firman.
Katirisala
Kue Katirisala merupakan makanan khas Bugis yang kerap mengisi hidangan dalam upacara adat utamanya dalam upacara pernikahan. Kue ini menjadi hidangan utama, dalam masyarakat Bugis disebut dengan istilah “indo beppa”. Sementara itu, Budayawan Universitas Negeri Hasanuddin (Unhas), Dr Firman Saleh menjelaskan asal muasal kue tradisional ini. Berdasarkan buku-buku dan tulisan lama hidangan ini berasal dari wilayah Ajatappareng (Sidrap, Parepare, dan Pinrang). “Katirisala itu dijelaskan dalam buku-buku dan tulisan-tulisan lama bahwa dia berasal dari Ajatappareng. Ajatappareng itu meliputi wilayah Sidrap, Parepare, Pinrang tapi dulu dikenal dengan wilayah Ajatappareng,”.
Kendati demikian, Firman kembali menegaskan tidak penjelasan pasti mengenai kapan awal mula kue manis ini dibuat. Namun, diperkirakan kue ini mulai dikenal oleh masyarakat Bugis pada abad ke-17. “Dalam sejarah, belum ada yang menjelaskan kapan tepatnya kue itu ada, tapi itu diperkirakan di abad ke-17. Buktinya dengan adanya bosara yang hadir di tengah-tengah kegiatan-kegiatan tradisi. Katirisala dihidangkan di atas bosara,” ungkap Firman.
Sementara itu, katirisala juga sarat dengan nilai-nilai filosofi yang tercermin dari namanya. Katirisala berasal dari kata ‘tiri’ yang berarti ‘menetes’ dan ‘sala’ yang berarti ‘salah’, yang secara harfiah artinya salah tetes. Arti kata salah tetes merujuk pada lapisan gula merah pada kue. Pada awal pembuatan dan penyajian gula dalam lapisan kue ini ada kesalahan. “Jadi, ini sebenarnya punya filosofi. Harusnya dalam pembuatan kue itu ketannya dulu baru gulanya. Tapi ini terbalik, karena gulanya itu tiri, menetes, atau lari ke bawah, sehingga dalam penyajiannya itu dibalik, gulanya yang di atas dan ketannya yang di bawah,” jelasnya. Hidangan ini dikenal dengan rasa manis dari gula merahnya. Di balik itu, ada filosofi berupa harapan kehidupan yang saling mengasihi dengan orang sekitar. “Filosofinya dalam masyarakat Bugis itu, gula kan manis, jadi sebuah simbol supaya orang-orang yang melakukan kegiatan ritual itu, orang atau pengunjung bisa lebih akrab, penglihatannya tetap bagus, kehidupannya bagus, sebagaimana seperti gula yang manis,” ungkapnya.
Barongko
Barongko sudah ada sejak zaman kerajaan. Kue ini menjadi menu istimewa yang kerap server thailand dihidangkan untuk kaum bangsawan dan kerajaan-kerajaan Bugis. Di masa kerajaan tersebut, raja-raja Bugis menjadikan Barongko sebagai hidangan penutup. Hingga kini, barongko masih terus disajikan pada waktu-waktu tertentu seperti di acara pernikahan, upacara agama atau adat. Sementara itu, Bugis-Makassar, kue Barongko memiliki makna filosofis yang tinggi dan diyakini masyarakat Bugis-Makassar. Olahan pisang yang dibungkus dengan daun pisang melambangkan nilai-nilai budaya dan prinsip hidup yang agung.
Dikutip dari laman resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, kata Barongko adalah singkatan dari “barangku mua udoko”. Artinya, barangku sendiri yang kubungkus. Hal tersebut melambangkan nilai “siri” atau harga diri yang telah dijunjung Masyarakat Bugis-Makassar. Membungkus dan menjaga harga diri merepresentasikan harkat dan martabat masyarakat. Selain itu, kudapan ini juga selalu disajikan di acara pernikahan dengan harapan dapat hidup harmonis. Harapan ini berlandaskan pisang yang dibungkus daun pisang dimaknai sebagai kejujuran, yaitu apa yang tampak di luar sama dengan isi dalamnya.
Kue Karasa
Peneliti Sastra Kuno dan Kuliner Bugis dari ISIN Parepare Sari Hidayati menjelaskan bahwa asal muasal Karasa masih belum jelas. Pasalnya tidak ada catatan resmi mengenai kue khas Bugis. “Perihal sejarah sesungguhnya tidak dapat dipastikan kapan kehadirannya,” imbuhnya. Hanya saja ia mengaku patokan yang bisa diambil kue ini sudah tergolong dalam kuliner tradisional. Ini berarti usia kehadiran kue ini sudah cukup lama. “Kue tradisional berarti telah melewati 3 generasi atau lebih dari 75 tahun,” jelasnya.
Berkaitan hal itu, Sari memperkirakan Karasa sudah ada sejak zaman kerajaan. Namun kini dengan teknik memasak yang berbeda, tidak seperti zaman kerajaan yang biasanya dibakar. “Terdapat kemungkinan kue ini telah ada namun dalam pengolahan yang berbeda, meninjau teknik memasaknya yang digoreng sedangkan dahulu dominan makanan dibakar, atau direbus,” paparnya. Sementara itu, Karasa mengandung makna mendalam bagi masyarakat Bugis. Sehingga kue berserat ini menjadi sajian wajib di sejumlah acara adat.
Sari menjelaskan filosofi kue karasa cukup banyak, menyesuaikan dengan upacara adat yang digelar. Biasanya dinilai dari teknik pembuatan, bentuk dan nama kuliner. “Jika kue karasa dibuat pada acara mappanre temme yaitu khatam Al-Qur’an, filosofinya teknik memukul-mukul gagang tadi dapat sama nyaringnya dengan suara anak-anak yang baru khatam Al-Qur’an itu,” jelasnya. Sedangkan dalam acara pernikahan, bentuk karasa yang menyerupai benang kusut mengandung nilai filosofi dan harapan. Kedua mempelai diharapkan dapat mengarungi bahtera rumah tangga meskipun serumit benang kusut.